BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
zaman yang semakin berkembang ini, individu sering dihadapkan dengan
persoalan-persoalan rumit dan sukar untuk dipecahkan. Seorang individu dalam
proses perkembangannya akan melewati tahap-tahap, baik itu dari ukuran fisik
atau non-fisik. Masa melewati tahap-tahap ini terkadang menjadi sebuah masalah
untuk sebagian individu. Oleh karenanya mereka membutuhkan bantuan agar dapat
lebih memahami dan memecahkan masalah tersebut. Maka muncul sebuah solusi yang
kemudian akan sedikit memberikan bantuan berupa pemberian informasi-informasi
kepada individu yang mengalami problem-problem tersebut. Dalam dunia psikologi,
dikenal istilah psikoterapi sebagai bentuk aktifitas pemberian bantuan
psikologis kepada seorang individu yang memerlukannya.
Psikoterapi
(Psychotherapy) berasal dari dua
kata, yaitu "Psyche" yang artinya jiwa, pikiran atau mental dan
"Therapy" yang artinya penyembuhan, pengobatan atau perawatan. Oleh
karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi kejiwaan, terapi
mental, atau terapi pikiran.
Sedangkan,
definisi umum psikoterapi yaitu serangkaian metode berdasarkan
ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan
kejiwaan atau mental seseorang. Psikoterapi merupakan suatu interaksi
sistematis antara pasien dengan terapis yang menggunakan prinsip-prinsip
psikologis untuk membantu menghasilkan perubahan dalam tingkah laku, pikiran
dan perasaan pasien agar membantu pasien mengatasi tingkah laku abnormal dan
memecahkan masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai seorang individu.
Psikoterapi
atau terapi dalam psikologi terdapat banyak macamnya. Tentunya, terapi ini
digunakan sesuai dengan kebutuhan pasien atau klien, berdasarkan masalah apa
yang sedang dialami oleh klien. Dari beberapa terapi yang ada, terdapat dua
macam terapi yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu terapi perilaku serta
terapi kelompok. Dengan adanya terapi-terapi tersebut, diharapkan klien dapat
keluar dari masalah atau gangguan yang dideritanya, serta dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
B.
Rumusan
Pertanyaan
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, perumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsep
mengenai terapi perilaku dan terapi kelompok?
2.
Apa tujuan dari terapi
perilaku dan terapi kelompok?
3.
Bagaimana peran terapis
dalam terapi perilaku dan terapi kelompok?
4.
Apa saja teknik yang
digunakan dalam terapi perilaku dan terapi kelompok?
C.
Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui konsep
mengenai terapi perilaku dan terapi kelompok.
2.
Mengetahui tujuan dari
terapi perilaku dan terapi kelompok.
3.
Mengetahui peran
terapis dalam terapi perilaku dan terapi kelompok.
4.
Mengetahui teknik yang
digunakan dalam terapi perilaku dan terapi kelompok.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Terapi Perilaku (Behaviour
Therapy)
1. Konsep Terapi Perilaku
Terapi perilaku (Behaviour
therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang
didasari oleh Teori Belajar (learning
theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias,
dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan
dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
Pada tahun 1920, Watson dkk melakukan percobaan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut yang
merupakan cikal bakal terapi perilaku formal. Pada tahun 1927, Ivan
Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell
untuk mengkondisikan anjing bahwa bel sama dengan makanan, yang kemudian
dikenal juga dengan istilah “stimulus” dan “respon”.
Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek
penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu,
termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck.
Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika
Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck)
yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku.
Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik
kepribadian, lingkungan, dan perilaku.
Di Amerika Serikat Skinner dkk. menekankan pada operant conditioning yang menciptakan
sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada
pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.
Ogden Lindsley merumuskan precision
teaching, yang mengembangkan program grafik (bagan celeration) standar untuk memantau kemajuan klien.
Skinner secara pribadi lebih tertarik pada program-program untuk
meningkatkan pembelajaran pada mereka dengan atau tanpa cacat dan bekerja
dengan Fred S. Keller untuk mengembangkan programmed
instruction. Program ini dicoba ke dalam pusat rehabilitasi Aphasia dan
berhasil. Gerald Patterson menggunakan program yang sama untuk mengembangkan
teks untuk mengasuh anak-anak dengan masalah perilaku.
Terapis behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara
pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu
kepedulian utama dari para terapis sebagai kriteria pengukuran keberhasilan
terapi. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar
seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga
dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada
dasarnya, proses terapi merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar
untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa teori dasar mengenai metode
terapi perilaku, yaitu :
a.
Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan
(conditioned) atau dipelajari (learned).
b.
Terapi untuk perilaku maladaptif adalah dengan
penghilangan kebiasaan (deconditioning)
atau ditinggalkan (unlearning).
c.
Untuk menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku
(operant and clasical conditioning).
2. Tujuan Terapi Perilaku
Menurut
Corey (2009), tujuan umum terapi perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap perilaku adalah dapat
dipelajari (learned), termasuk perilaku
yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik
learned, maka ia bisa unlearned
(dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.
Terapi perilaku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar
yang tidak adaptif
dan pemberian pengalaman-pengalaman
belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum
dipelajari. Berkaitan dengan penjelasan diatas secara sederhana tujuan dari
terapi perilaku adalah :
a.
Meningkatkan perilaku, yaitu reinforcement positif (memberi penghargaan terhadap perilaku) dan reinforcement negatif (mengurangi
stimulus aversi)
b.
Mengurangi perilaku, yaitu punishment (memberi stimulus aversi), respons cost (menghilangkan atau menarik reinforcement), dan extinction
(menahan reinforcerment)
Sedangkan, menurut Latipun (2001)
tujuan terapi perilaku adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
somatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang
dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang, atau mengalami konflik dengan
lingkungan sosial.
1. Peran Terapis
a. Memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment
Yakni terapis menerapkan pengetahuan
ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia pada kliennya. Terapis
tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan
prosesur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang
baru dan adjustive
b. Terlibat
dalam pemberian penguatan-penguatan sosial
Terapis harus terlibat dalam pemberian
penguatan-penguatan sosial, baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan
meskipun, mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan dengan
pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien, baik
melalui cara-cara langsung maupun cara-cara tidak langsung.
c. Penguat
bagi tingkah laku klien
Peran mengendalikan tingkah laku klien
yang dimainkan oleh terapis melalui penguatan menjangkau situasi di luar
konseling serta dimasukan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata:
“konselor mengganjar respon-respon tertentu yang dilaporkan telah ditampilkan
oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan menghukum respon-respon
yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah
persetujuan, minat, dan keprihatinan, perkuatan semacam itu penting
terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru
yang belum secara tetap diberi perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan
klien”. Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan adalah bahwa
terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru dikembangkan oleh klien
d. Model
bagi klien
Bandura menunjukan bahwa sebagian besar
proses belajar yang melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui
pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu
proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru
adalah imitasi atau percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis
sebagai pribadi menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering
memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien acap kali meniru
sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan tingkah laku terapis.
Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses
identifikasi.
Teknik Terapi Perilaku
a. Operant Conditioning
Tingkah laku operan menjadi ciri
organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan
akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan
sehari-hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain). Menurut
Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang tinggi.
Prinsip perkuatan yang menerangkan
pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan
inti dari pengkondisian operan. Terdapat dua jenis reinforcement, yaitu:
1)
Positive
Reinforcement
Pembentukan suatu pola
tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah
laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk mengubah
tingkah laku. Biasanya suatu peristiwa yang bila hadir mengikuti suatu perilaku
tertentu dapat menyebabkan perilaku tersebut akan diulangi.
Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi keefektifan reinforcement
positif, yaitu:
a) Memilih
perilaku yang akan ditingkatkan
Perilaku
yang akan dikukuhkan harus diidentifikasi secara spesifik. Hal ini akan
membantu untuk memastikan reliabilitas dari deteksi contoh dari perilaku dan
perubahan frekuensinya. Serta meningkatkan perilaku kemungkinan program
reinforcement ini dilakukan secara konsisten
b) Memilih
reinforcer
Berbeda
individu, kemungkinan reinforcer yang digunakan juga berbeda. Ada juga reinforcer yang merupakan reinforcer
bagi semua orang. Terdapat lima macam
reinforcer yaitu :
§ Consumable reinforcer
– makanan, minuman
§ Activity reinforcer
–hobi, olahraga, belanja
§ Manipulative reinforcer
– bersepeda, menggunakan internet
§ Possesional reinforcer
– gelas kesayangan, baju favorit
§ Social reinforcer
– pujian, pelukan, senyum
2)
Negative
Reinforcement
Penguatan
berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk
penguatan negatif antara lain: menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng,
kening berkerut, muka kecewa dll)
Penguatan positif
|
||
Perilaku
Murid mengajukan pertanyaan yang bagus
|
Konsekuensi
Guru menguji murid
|
Perilaku ke depan
Murid mengajukan lebih banyak pertanyaan
|
Penguatan negatif
|
||
Perilaku
Murid menyerahkan PR tepat waktu
|
Konsekuensi
Guru berhenti menegur murid
|
Perilaku kedepan
Murid makin sering menyerahkan PR tepat waktu
|
a. Desensitization
Istilah desensitisasi merupakan usaha
untuk memperkenalkan secara bertahap stimulus atau situasi-situasi yang
menimbulkan ketakutan. Merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus tingkah
laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku
atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
Systematic
desensitization didesain untuk membantu klien yang
mengalami phobia. Klien dan terapis pertama-tama membuat daftar tingkatan atau
hirarki ketakutan dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Kemudian
klien disuruh relax, dan selanjutnya prosedur terapis dimulai (mulai dari
imaginal menuju kepada aktual desensitisasi). Teknik ini juga melibatkan
relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan
pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan. Situasi dihadirkan dalam
suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat
mengancam.
b. Flooding
Adalah suatu bentuk dari terapi
pemaparan dimana subjek dihadapkan pada stimulus pembangkit kecemasan tingkat
tinggi baik melalui imajinasi ataupun situasi actual. Mengapa? Kepercayaannya
adalah bahwa kecemasan merupakan representasi dari respon terkondisi dari
stimulus fobia dan akan punah bila individu tinggal di dalam situaasi fobik
tersebut untuk waktu yang cukup lama dan tidak terjadi konsekuensi yang
merugikan. Dalam suatu riset, 9 dari 10 orang dengan fobia social memperoleh sedikitya peningkatan dalam taraf sedang
melalui teknik flooding dimana mereka
secara langsung dihadapkan pada situasi pembangkit ketakutan.
Flooding
didasarkan pada dasar pemikiran bahwa melarikan diri dari pengalaman yang
mencetuskan anxienty (gangguan
cemas) dan mendorong anxienty melalui pembelajaran. Dengan
demikian, terapis dapat mengakhiri ansietas dan mencegah perilaku menghindar
yang dipelajari dengan tidak memungkinkan pasien lari dari situasi tersebut.
Keberhasilan prosedur ini bergantung pada pertahanan pasien didalam situasi
yang menimbulkan takut sampai mereka menjadi tenang dan merasakan sensasi
penguasaan. Menarik diri secara dini dari situasi atau secara dini mengakhiri
situasi yang dibayangkan adalah sebanding dengan pelarian diri, yang
kemungkinan mendorong ansietas yang dipelajari serta perilaku menghindar dan
menghasilkan efek berlawanan yang diinginkan.
Flooding
adalah bentuk pengobatan yang efektif untuk fobia antara lain psikopatologis (gangguan
jiwa). Bekerja pada prinsip-prinsip pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian
Pavlov klasik-di mana pasien mengubah perilaku mereka untuk menghindari
rangsangan negatif. Teknik terapi :
1) Mencari
stimulus yang memicu gejala gejala
2) Menaksir/analisa
kaitan kaitan bagaimana gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien
dari keadaan normal sebelumnya.
3) Meminta
klien membayangkan sejelas jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan
atau judgement oleh terapis.
4) Bergerak
mendekati pada ketakutakan yang paling ditakuti yang dialami klien dan meminta
kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan
5) Ulangi
lagi prosedur di atas sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.
c.
Implosive
Therapy
Klien diarahkan untuk membayangkan
situasi (stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan
dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan
menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan
kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah
bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi
penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul,
maka kecemasan terekdusi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan
situasi-situasi yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan
dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan
menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya
menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh
bagaimana terapi implosive berlangsung. Ia melukiskan seorang klien yang
mengalami kecenderungan-kecenderungan obsesif pada kebersihan. Klien mencuci
tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan
terhadap kuman.
d. Participant Modeling
(Percontohan)
Modeling dengan partisipasi terbimbing
(terapis membimbing klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan
partisipasi (terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan
contact-desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase
awal partisipasi klien dalam treatmen).
Participan modeling, dapat diadaptasikan
untuk rentang yang luas dari cemas atau takut pada: binatang, sosial, dan yang
tidak spesifik, misalnya takut pada ketinggian. Di sini individu mengamati
seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model.
e. Teknik
Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang
telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang
spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu
stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat
kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik
atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah
metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris
meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang
kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud
prosedur-prosedur teknik aversif ialah menyajikan cara-cara menahan
respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan
untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti
memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang populer adalah bahwa
teknik-teknik yang berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting
bagi para terapis tingkah laku.
f. Teknik
Relaksasi dan Desentisisasi Sistematis
Salah
satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku.
Desensitisasi sistematis digunakan untuk menghapus tingkah laku yang
diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon
yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu,
Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu
respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe
telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang secara fisiologis
bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan
aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Desensitisasi sistematis adalah
teknik yang cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia, kecemasan
dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai
situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan terhadap
ujian, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Desensitisasi
sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk
menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien
untuk rileks”. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang
diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah
laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang
tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi Desensitisasi
sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan
dihilangkan.
g. Self Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu
aktivitas, ‘coping response’ dari
klien yang memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya.
Misalnya, digunakan untuk alkoholik, ‘self-abusive
child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk
pribadi ‘overweight’ yang ingin
mengontrol tingkah laku makan.
Beberapa
tujuan yang biasanya ingin dicapai dalam melakukan modifikasi perilaku yang
menggunakan teknik self-Control antara lain :
1) Mampu menghadapi situasi yang tidak
diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi situasi tersebut
2) Mampu mengatasi frustasi dan ledakan
emosi.
3) Mampu menunda kepuasan dengan segera
untuk mengatur perilaku agar dapat mencapai sesuatu yang lebih berharga atau
lebih diterima oleh masyarakat
4) Mampu mengantisipasi peristiwa
dengan mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif.
5) Mampu menafsirkan peristiwa dengan
melakukan penilaian dan penafsiran suatu keadaan dengan cara memperhatikan
segi-segi positif secara subjektif
6) Mampu mengontrol keputusan dengan
cara memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau
disetujuinya.
h. Eye Movement Desensitisasi and Reprocessing (EMDR)
Gerakan mata dan
pengolahan desensitisasi (EMDR) adalah bentuk paparan konseling yang melibatkan
imaginal, restrukturisasi kognitif, gerakan mata berirama dan merancang hal
lain untuk mengobati klien yang mengalami stres traumatic, populasi termasuk
anak-anak korban pelecehan seksual, veteran perang, korban kejahatan, korban
perkosaan, korban kecelakaan,individu yang berhubungan dengan kecemasan, panik,
depresi, kesedihan,kecanduan, dan fobia. EMDR terdiri dari 8 fase penting
yaitu:
1)
Membantu konseli
mengatur kembali kognisi dan pemrosesan ulang informasi.
2)
Fase persiapan berupa
membangun aliansi terapi.
3)
Fase penilaian meliputi
identifikasi memori traumatis yang menhasilkan kecemasan, identifikasi emosi
dan sensasi fisik yang berkaitan dengan traumatis.
4)
Fase desentisasi yang
menvisualisasi image traumatis, menyampaikan kepercayaan maladaptive, dan
sensasi fisik.
5)
Fase instalasi yang
terdiri dari penigkatan kekuatan dan kognisi positif konseli yang
diidentifikasi sebagai pergantian kognisi negative.
6)
Memvisualisasikan
kejadian traumatis melalui kognisi positif
7)
Penutupan yang memadai
pada setiap akhir sesi,
8)
Re-evaluasi atau fase
penanganan terakhir.
i.
Terapi
Kognitif-Behavioral (TKB)
Digunakan dalam rangka membantu
menangani berbagai masalah yang dihadapi individu: seperti : depresi, kecemasan
dan gangguan panik, atau dalam menghadapi peristiwa hidup lainnya, seperti:
kematian, perceraian, kecacatan, pengangguran, masalah yang berhubungan dengan
anak-anak dan stres.
Dalam (TKB), konselor
dan klien bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan
perilaku negatif yang menyebabkan timbulnya gangguan fisik-emosional. Fokus
dalam terapi ini adalah berusaha mengubah pikiran atau pembicaraan diri (self
talk).
Proses (TKB) membantu klien dalam
mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan spesifik dari apa yang dia pikirkan
dan menyebabkan timbulnya perasaan negatif dan menyakitkan. Setiap bentuk
pemikiran yang menyimpang klien ini dapat mempengaruhi tingkat emosi dan
perilakunya.
Dalam memperlakukan orang yang mengalami
kesulitan psikologis, titik yang paling efektif untuk dilakukan intervensi
adalah pada tingkat pikiran yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Jika proses
berpikirnya dapat berhasil dirubah, (misalnya asumsi, keyakinan, nilai-nilai),
maka dengan sendirinya perubahan dalam emosi dan perilaku akan mengikutinya.
Berbagai teknik dan
strategi behavioral therapy dapat digunakan untuk meningkatkan hasil perawatan
(misalnya, teknik mengelola kemarahan, meditasi, latihan relaksasi, dan
assertive training, dan sebagainya). Tidak seperti proses konseling tradisional
umumya, Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) lebih memfokuskan pada hasil dan
tujuan, termasuk didalamnya adalah hasil jangka pendek (segera) dari proses
konseling yang sedang berjalan, yaitu tercapainya pengalaman positif klien yang
relatif cepat dengan adanya kemajuan perasaan yang lebih lega dan daya tahan.
Berdasarkan hasil studi beberapa dekade
belakangan ini, telah membuktikan bahwa (TKB) merupakan sebuah model sederhana
yang sukses dan ampuh sebagai salah bentuk treatment psikologis. Saat ini
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) telah banyak diterapkan oleh para profesional
di seluruh Amerika Serikat dan secara internasional.
“Jenis konseling ini adalah yang paling
efektif dalam berurusan dengan individu-individu yang cerdas, rasional dan
berkeinginan untuk memiliki gairah dan kenikmatan dalam hidup mereka” demikian
menurut Beth Horwin, LPC, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang therapist.
Terapi
Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan proses terapi yang mengambil banyak bentuk,
sedikitnya terdapat 60 variasi. Secara ringkas, Beth Horwin mengemukakan proses
konseling kognitif- behavioral ini, sebagai berikut:
1)
Membantu klien dalam
mengenali, menganalisis dan mengelola keyakinannya.
2)
Membiarkan klien
bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk memvalidasimya.
3)
Menempatkan dan
menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang siapa dirinya dan apa tujuan
hidup dia di dunia ini
4)
Menjaga fokus pada
upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara menyeluruh”, bukan pada upaya
penurunan emosi yang negatif
5)
Membelajarkan dan
mendidik yakni memberikan kesempatan kepada klien untuk memeriksa/memguji
kembali apa yang telah diucapkannya dengan kenyataan dirinya.
6)
Mengidentifikasi dan
berbagai keterampilan praktis (misalnya, tentang penetapan tujuan dan pemecahan
masalah).
7)
Melanjutkan untuk
melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka panjang, setelah proses konseling
selesai.
Bagus...
BalasHapus