Rabu, 27 April 2016

Terapi Perilaku (Behavior Therapy)


BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Pada zaman yang semakin berkembang ini, individu sering dihadapkan dengan persoalan-persoalan rumit dan sukar untuk dipecahkan. Seorang individu dalam proses perkembangannya akan melewati tahap-tahap, baik itu dari ukuran fisik atau non-fisik. Masa melewati tahap-tahap ini terkadang menjadi sebuah masalah untuk sebagian individu. Oleh karenanya mereka membutuhkan bantuan agar dapat lebih memahami dan memecahkan masalah tersebut. Maka muncul sebuah solusi yang kemudian akan sedikit memberikan bantuan berupa pemberian informasi-informasi kepada individu yang mengalami problem-problem tersebut. Dalam dunia psikologi, dikenal istilah psikoterapi sebagai bentuk aktifitas pemberian bantuan psikologis kepada seorang individu yang memerlukannya.
Psikoterapi (Psychotherapy) berasal dari dua kata, yaitu "Psyche" yang artinya jiwa, pikiran atau mental dan "Therapy" yang artinya penyembuhan, pengobatan atau perawatan. Oleh karena itu, psikoterapi disebut juga dengan istilah terapi kejiwaan, terapi mental, atau terapi pikiran.
Sedangkan, definisi umum psikoterapi yaitu serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Psikoterapi merupakan suatu interaksi sistematis antara pasien dengan terapis yang menggunakan prinsip-prinsip psikologis untuk membantu menghasilkan perubahan dalam tingkah laku, pikiran dan perasaan pasien agar membantu pasien mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai seorang individu. 
Psikoterapi atau terapi dalam psikologi terdapat banyak macamnya. Tentunya, terapi ini digunakan sesuai dengan kebutuhan pasien atau klien, berdasarkan masalah apa yang sedang dialami oleh klien. Dari beberapa terapi yang ada, terdapat dua macam terapi yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu terapi perilaku serta terapi kelompok. Dengan adanya terapi-terapi tersebut, diharapkan klien dapat keluar dari masalah atau gangguan yang dideritanya, serta dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
 
B.     Rumusan Pertanyaan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, perumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.          Bagaimana konsep mengenai terapi perilaku dan terapi kelompok?
2.          Apa tujuan dari terapi perilaku dan terapi kelompok?
3.          Bagaimana peran terapis dalam terapi perilaku dan terapi kelompok?
4.          Apa saja teknik yang digunakan dalam terapi perilaku dan terapi kelompok?
 
C.    Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Mengetahui konsep mengenai terapi perilaku dan terapi kelompok.
2.        Mengetahui tujuan dari terapi perilaku dan terapi kelompok.
3.        Mengetahui peran terapis dalam terapi perilaku dan terapi kelompok.
4.        Mengetahui teknik yang digunakan dalam terapi perilaku dan terapi kelompok.
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Terapi Perilaku (Behaviour Therapy) 
1.      Konsep Terapi Perilaku
Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.
Pada tahun 1920, Watson dkk melakukan percobaan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut yang merupakan cikal bakal terapi perilaku formal.  Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan  memakai suara bell untuk mengkondisikan anjing bahwa bel sama dengan makanan, yang kemudian dikenal juga dengan istilah “stimulus” dan “respon”.
Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu, termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck.
Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku.
Di Amerika Serikat Skinner dkk. menekankan pada operant conditioning yang menciptakan sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.
Ogden Lindsley merumuskan precision teaching, yang mengembangkan program grafik (bagan celeration) standar untuk memantau kemajuan klien.
Skinner secara pribadi lebih tertarik pada program-program untuk meningkatkan pembelajaran pada mereka dengan atau tanpa cacat dan bekerja dengan Fred S. Keller untuk mengembangkan programmed instruction. Program ini dicoba ke dalam pusat rehabilitasi Aphasia dan berhasil. Gerald Patterson menggunakan program yang sama untuk mengembangkan teks untuk mengasuh anak-anak dengan masalah perilaku.
Terapis behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para terapis sebagai kriteria pengukuran keberhasilan terapi. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses terapi merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa teori dasar mengenai metode terapi perilaku, yaitu :
a.       Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned).
b.      Terapi  untuk perilaku maladaptif adalah dengan penghilangan kebiasaan (deconditioning) atau ditinggalkan (unlearning).
c.       Untuk menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning).
2.      Tujuan Terapi Perilaku
Menurut Corey (2009), tujuan umum terapi perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap perilaku adalah dapat dipelajari (learned), termasuk perilaku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi perilaku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari. Berkaitan dengan penjelasan diatas secara sederhana tujuan dari terapi perilaku adalah : 
a.       Meningkatkan perilaku, yaitu reinforcement positif (memberi penghargaan terhadap perilaku) dan reinforcement negatif (mengurangi stimulus aversi)
b.      Mengurangi perilaku, yaitu punishment (memberi stimulus aversi), respons cost (menghilangkan atau menarik reinforcement), dan extinction (menahan reinforcerment)
Sedangkan, menurut Latipun (2001) tujuan terapi perilaku adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku somatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang, atau mengalami konflik dengan lingkungan sosial.
1.      Peran Terapis
a.       Memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment
Yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosesur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive 
b.      Terlibat dalam pemberian penguatan-penguatan sosial
Terapis harus terlibat dalam pemberian penguatan-penguatan sosial, baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan meskipun, mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien, baik melalui cara-cara langsung maupun cara-cara tidak langsung.
c.       Penguat bagi tingkah laku klien
Peran mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui penguatan menjangkau situasi di luar konseling serta dimasukan ke dalam tingkah laku klien dalam dunia nyata: “konselor mengganjar respon-respon tertentu yang dilaporkan telah ditampilkan oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan menghukum respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah  persetujuan, minat, dan keprihatinan, perkuatan semacam itu penting terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon atau tingkah laku baru yang belum secara tetap diberi perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan klien”. Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru dikembangkan oleh klien 
d.      Model bagi klien
Bandura menunjukan bahwa sebagian besar proses belajar yang melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi.
 
      Teknik Terapi Perilaku
a.       Operant Conditioning
Tingkah laku operan menjadi ciri organisme yang aktif yang beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat, merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, membaca, berbicara, berpakaian, makan, bermain). Menurut Skinner (1971) jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang tinggi.
Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku merupakan inti dari pengkondisian operan. Terdapat dua jenis reinforcement, yaitu:
1)      Positive Reinforcement
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Biasanya suatu peristiwa yang bila hadir mengikuti suatu perilaku tertentu dapat menyebabkan perilaku tersebut akan diulangi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan reinforcement positif, yaitu:
a)      Memilih perilaku yang akan ditingkatkan
Perilaku yang akan dikukuhkan harus diidentifikasi secara spesifik. Hal ini akan membantu untuk memastikan reliabilitas dari deteksi contoh dari perilaku dan perubahan frekuensinya. Serta meningkatkan perilaku kemungkinan program reinforcement ini dilakukan secara konsisten 
b)      Memilih reinforcer
Berbeda individu, kemungkinan reinforcer yang digunakan juga berbeda. Ada juga reinforcer yang merupakan reinforcer bagi semua orang. Terdapat lima macam reinforcer yaitu :
§  Consumable reinforcer – makanan, minuman
§  Activity reinforcer –hobi, olahraga, belanja
§  Manipulative reinforcer – bersepeda, menggunakan internet
§  Possesional reinforcer – gelas kesayangan, baju favorit
§  Social reinforcer – pujian, pelukan, senyum
2)      Negative Reinforcement
Penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll)
 
Penguatan positif
Perilaku
Murid mengajukan pertanyaan yang bagus
Konsekuensi
Guru menguji murid
Perilaku ke depan
Murid mengajukan lebih banyak pertanyaan
Penguatan negatif
Perilaku
Murid menyerahkan PR tepat waktu
Konsekuensi
Guru berhenti menegur murid
Perilaku kedepan
Murid makin sering menyerahkan PR tepat waktu
a.       Desensitization
Istilah desensitisasi merupakan usaha untuk memperkenalkan secara bertahap stimulus atau situasi-situasi yang menimbulkan ketakutan. Merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
Systematic desensitization didesain untuk membantu klien yang mengalami phobia. Klien dan terapis pertama-tama membuat daftar tingkatan atau hirarki ketakutan dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Kemudian klien disuruh relax, dan selanjutnya prosedur terapis dimulai (mulai dari imaginal menuju kepada aktual desensitisasi). Teknik ini juga melibatkan relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan. Situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. 
 
b.      Flooding
Adalah suatu bentuk dari terapi pemaparan dimana subjek dihadapkan pada stimulus pembangkit kecemasan tingkat tinggi baik melalui imajinasi ataupun situasi actual. Mengapa? Kepercayaannya adalah bahwa kecemasan merupakan representasi dari respon terkondisi dari stimulus fobia dan akan punah bila individu tinggal di dalam situaasi fobik tersebut untuk waktu yang cukup lama dan tidak terjadi konsekuensi yang merugikan. Dalam suatu riset, 9 dari 10 orang dengan fobia social memperoleh sedikitya peningkatan dalam taraf sedang melalui teknik flooding dimana mereka secara langsung dihadapkan pada situasi pembangkit ketakutan.
Flooding didasarkan pada dasar pemikiran bahwa melarikan diri dari pengalaman yang mencetuskan anxienty (gangguan cemas)  dan mendorong anxienty melalui pembelajaran. Dengan demikian, terapis dapat mengakhiri ansietas dan mencegah perilaku menghindar yang dipelajari dengan tidak memungkinkan pasien lari dari situasi tersebut. Keberhasilan prosedur ini bergantung pada pertahanan pasien didalam situasi yang menimbulkan takut sampai mereka menjadi tenang dan merasakan sensasi penguasaan. Menarik diri secara dini dari situasi atau secara dini mengakhiri situasi yang dibayangkan adalah sebanding dengan pelarian diri, yang kemungkinan mendorong ansietas yang dipelajari serta perilaku menghindar dan menghasilkan efek berlawanan yang diinginkan.
Flooding adalah bentuk pengobatan yang efektif untuk fobia antara lain psikopatologis (gangguan jiwa). Bekerja pada prinsip-prinsip pengkondisian klasik-bentuk pengkondisian Pavlov klasik-di mana pasien mengubah perilaku mereka untuk menghindari rangsangan negatif. Teknik terapi :
1)      Mencari stimulus yang memicu gejala gejala
2)      Menaksir/analisa kaitan kaitan bagaimana gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien dari keadaan normal sebelumnya.
3)      Meminta klien membayangkan sejelas jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan atau judgement oleh terapis.
4)      Bergerak mendekati pada ketakutakan yang paling ditakuti yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan
5)      Ulangi lagi prosedur di atas sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.
 
c.       Implosive Therapy
Klien diarahkan untuk membayangkan situasi (stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan terekdusi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
Stampfl (1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosive berlangsung. Ia melukiskan seorang klien yang mengalami kecenderungan-kecenderungan obsesif pada kebersihan. Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kuman.
d.      Participant Modeling (Percontohan)
Modeling dengan partisipasi terbimbing (terapis membimbing klien atas rangkaian latihan), demonstrasi dengan partisipasi (terapis medemonstrasikan sebelum klien berpartisipasi), dan contact-desensitization (kontak pisik antara terapis dan klien selama phase awal partisipasi klien dalam treatmen).
Participan modeling, dapat diadaptasikan untuk rentang yang luas dari cemas atau takut pada: binatang, sosial, dan yang tidak spesifik, misalnya takut pada ketinggian. Di sini individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model.
e.       Teknik Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur teknik aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang populer adalah bahwa teknik-teknik yang berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para terapis tingkah laku.
f.       Teknik Relaksasi dan Desentisisasi Sistematis
Salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi  sistematis digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan menyertakan pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu, Desensitisasi  diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe telah mengembangkan suatu respon yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Desensitisasi  sistematis adalah teknik yang cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia, kecemasan dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan terhadap ujian, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Desensitisasi  sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks”. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi Desensitisasi  sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. 
g.      Self Control
Teknik behavioral yang menekankan suatu aktivitas, ‘coping response’ dari klien yang memungkinkan seseorang mengontrol dalam situasi-situasi problematiknya. Misalnya, digunakan untuk alkoholik, ‘self-abusive child’, untuk siswa yang ingin mengembangkan keterampilan studi, atau untuk pribadi ‘overweight’ yang ingin mengontrol tingkah laku makan.
Beberapa tujuan yang biasanya ingin dicapai dalam melakukan modifikasi perilaku yang menggunakan teknik self-Control antara lain :
1)      Mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi situasi tersebut
2)      Mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi.
3)      Mampu menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku agar dapat mencapai sesuatu yang lebih berharga atau lebih diterima oleh masyarakat
4)      Mampu mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan secara objektif.
5)      Mampu menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan penafsiran suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif
6)      Mampu mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
h.      Eye Movement Desensitisasi and  Reprocessing (EMDR)
Gerakan mata dan pengolahan desensitisasi (EMDR) adalah bentuk paparan konseling yang melibatkan imaginal, restrukturisasi kognitif, gerakan mata berirama dan merancang hal lain untuk mengobati klien yang mengalami stres traumatic, populasi termasuk anak-anak korban pelecehan seksual, veteran perang, korban kejahatan, korban perkosaan, korban kecelakaan,individu yang berhubungan dengan kecemasan, panik, depresi, kesedihan,kecanduan, dan fobia. EMDR terdiri dari 8 fase penting yaitu:
1)      Membantu konseli mengatur kembali kognisi dan pemrosesan ulang informasi.
2)      Fase persiapan berupa membangun aliansi terapi.
3)      Fase penilaian meliputi identifikasi memori traumatis yang menhasilkan kecemasan, identifikasi emosi dan sensasi fisik yang berkaitan dengan traumatis.
4)      Fase desentisasi yang menvisualisasi image traumatis, menyampaikan kepercayaan maladaptive, dan sensasi fisik.
5)      Fase instalasi yang terdiri dari penigkatan kekuatan dan kognisi positif konseli yang diidentifikasi sebagai pergantian kognisi negative.
6)      Memvisualisasikan kejadian traumatis melalui kognisi positif
7)      Penutupan yang memadai pada setiap akhir sesi,
8)      Re-evaluasi atau fase penanganan terakhir.
i.        Terapi Kognitif-Behavioral (TKB)
Digunakan dalam rangka membantu menangani berbagai masalah yang dihadapi individu: seperti : depresi, kecemasan dan gangguan panik, atau dalam menghadapi peristiwa hidup lainnya, seperti: kematian, perceraian, kecacatan, pengangguran, masalah yang berhubungan dengan anak-anak dan stres.
Dalam (TKB), konselor dan klien bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang menyebabkan timbulnya gangguan fisik-emosional. Fokus dalam terapi ini adalah berusaha mengubah pikiran atau pembicaraan diri (self talk).
Proses (TKB) membantu klien dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan spesifik dari apa yang dia pikirkan dan menyebabkan timbulnya perasaan negatif dan menyakitkan. Setiap bentuk pemikiran yang menyimpang klien ini dapat mempengaruhi tingkat emosi dan perilakunya.
Dalam memperlakukan orang yang mengalami kesulitan psikologis, titik yang paling efektif untuk dilakukan intervensi adalah pada tingkat pikiran yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Jika proses berpikirnya dapat berhasil dirubah, (misalnya asumsi, keyakinan, nilai-nilai), maka dengan sendirinya perubahan dalam emosi dan perilaku akan mengikutinya.
Berbagai teknik dan strategi behavioral therapy dapat digunakan untuk meningkatkan hasil perawatan (misalnya, teknik mengelola kemarahan, meditasi, latihan relaksasi, dan assertive training, dan sebagainya). Tidak seperti proses konseling tradisional umumya, Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) lebih memfokuskan pada hasil dan tujuan, termasuk didalamnya adalah hasil jangka pendek (segera) dari proses konseling yang sedang berjalan, yaitu tercapainya pengalaman positif klien yang relatif cepat dengan adanya kemajuan perasaan yang lebih lega dan daya tahan.
Berdasarkan hasil studi beberapa dekade belakangan ini, telah membuktikan bahwa (TKB) merupakan sebuah model sederhana yang sukses dan ampuh sebagai salah bentuk treatment psikologis. Saat ini Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) telah banyak diterapkan oleh para profesional di seluruh Amerika Serikat dan secara internasional.
“Jenis konseling ini adalah yang paling efektif dalam berurusan dengan individu-individu yang cerdas, rasional dan berkeinginan untuk memiliki gairah dan kenikmatan dalam hidup mereka” demikian menurut Beth Horwin, LPC, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang therapist.
Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan proses terapi yang mengambil banyak bentuk, sedikitnya terdapat 60 variasi. Secara ringkas, Beth Horwin mengemukakan proses konseling kognitif- behavioral ini, sebagai berikut:
1)      Membantu klien dalam mengenali, menganalisis dan mengelola keyakinannya.
2)      Membiarkan klien bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk memvalidasimya.
3)      Menempatkan dan menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang siapa dirinya dan apa tujuan hidup dia di dunia ini
4)      Menjaga fokus pada upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara menyeluruh”, bukan pada upaya penurunan emosi yang negatif
5)      Membelajarkan dan mendidik yakni memberikan kesempatan kepada klien untuk memeriksa/memguji kembali apa yang telah diucapkannya dengan kenyataan dirinya.
6)      Mengidentifikasi dan berbagai keterampilan praktis (misalnya, tentang penetapan tujuan dan pemecahan masalah).
7)      Melanjutkan untuk melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka panjang, setelah proses konseling selesai.
 
 
 

 
 

1 komentar: