Terapi
Kelompok (Group Therapy)
1.
Konsep
Terapi Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu
yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan
serta mempunyai norma yang sama. Kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk
saling bertukar (sharing) tujuan,
misalnya membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan
orang lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah
perilaku destruktif menjadi konstruktif.
Menurut Yosep (2007), terapi
kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan
oleh seorang therapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi
kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal.
Terapi kelompok mirip dengan
masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti konseling. Yang
membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi kelompok tidak
menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan menggunakan
kelompok sebagai media penyembuhan. Individu-individu yang mengalami masalah
sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi
dengan dibimbing atau didampingi oleh terapis. Oleh karena itu perlu
diperhatikan mengenai komponen kelompok dalam terapi kelompok. Dalam Sari
(2015) menyebutkan komponen tersebut antara lain:
a.
Struktur kelompok
Stuktur kelompok menjelaskan
batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam
kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola
perilaku dan interaksi. Struktur dalam elompok diatur dengan adanya pimpinan
dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil
secara bersama.
b.
Besar kelompok
Menurut
Wartono (dalam Yosep, 2007), jumlah ideal anggota kelompok adalah tujuh sampai
delapan orang. Jumlah minimum angota kelompok berkisar empat dan jumlah
maksimun adalah sepuluh orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya
tidka semua anggota kelompok memndapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan,
mengemukakan pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil makan tidak cukup
variasi informasi dan intreaksi yang terjadi.
c.
Lamanya sesi
Waktu
optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit untuk fungsi terapi reandah, dan
60-120 menit untuk fungsi kelompok yang tinggi. Frekuensi pertemuan dapat
disesuaian dengan tujuan kelompok, dapat satu kali atau dua kali per minggu
atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d.
Komunikasi
Salah
satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan
mengalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik
untuk memberikan kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang
trejadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik
interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti
serta melaksanakan kegiatan.
e.
Peran kelompok
Pemimpin
(leader) harus memiliki kemammpuan
dalam proses yang terjadi pada kelompok, seperti adanya interupsi, peningkatan
intonasi suara, sikap menghakimi antara anggota kelompok selama interaksi
berlangsung. Dengan kata lian, pemimpin harus peka terhadap adanya konflik yang
mungkin terjadi di dalam kelompok.
f.
Kekuatan kelompok
Kekeuatan
kelompok adalah kemampuan anggota dalam memmpengaruhi jalannya kegiatan
kelompok. Untuk menetapkan kekuatan kelompok yang bervariasi diperlukan kajian
siapa yang paling banyak mendengar siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
g.
Norma
Norma
adalah standar perilaku dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok
pada masa yang akan datang berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan saat ini.
Pemahaman tentang norma berguna untuk mngetahui pengaruhnya terhadap komunikasi
dan interaksi dalam kelompok.
h.
Kekohesifan
Kekohesifan
adalah kekuatan antar anggota kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal
ini mempengaruhi naggota kelompok untuk tertarik dan puas terhadap kelompoknya.
Terapis perlu melakuakn upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, selain
mengelompokan anggota yang memiliki masalah yang sama. Terapis juga menciptakan
kekohesifan dengan cara mendorong kelompok untuk berbicara satu sama lain.
Kekohesifan dapat diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian
dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain.
2.
Tujuan
Terapi Kelompok
a.
Mengembangkan stimulasi
kognitif
§ Tipe:
biblioterapy
§ Aktivitas:
menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang dan
mengembangkan hubungan dengan orang lain.
b.
Mengembangkan stimulasi
sensori
§ Tipe:
music, seni, menari.
§ Aktivitas:
menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
§ Tipe:
relaksasi
§ Aktivitas:
belajar teknik relaksasi dengan cara napas dalam, relaksasi otot, dan
imajinasi.
c.
Mengembangkan orientasi
realitas
§ Tipe:
kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.
§ Aktivitas:
focus pada orientasi waktu,tempat dan orang, benar, salah bantu memenuhi
kebutuhan.
d.
Mengembangkan
sosialisasi
§ Tipe:
kelompok remitivasi
§ Aktivitas:
mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi
§ Tipe:
kelompok mengingatkan
§ Aktivitas:
focus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif.
Secara umum
tujuan terapi kelompok adalah :
a. Setiap
anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
b. Memberikan
pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
c. Merupakan
proses menerima umpan balik
3.
Peran
Terapis dalam Terapi Kelompok
Peran
terapis dalam pelaksanaan terapi kelompok adalah :
a.
Mempersiapkan program
terapi
Sebelum
melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu, membuat
proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi : deskripsi,
karakteristik klien, masalah psikologis, tujuan dan landasan teori, persiapan
alat, jumlah terapis, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas
terapis.
b.
Sebagai leader dan
co-leader
Meliputi
tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam
kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok,
menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan
serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.
c.
Sebagai fasilitator
Sebagai
fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota
kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat
mengikuti jalannya kegiatan.
d.
Sebagai observer
Tugas
seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon penderita,
mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota
kelompok yang drop out.
e.
Mengatasi masalah yang
timbul saat terapi
Masalah
yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya
keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok
yang drop out. Cara mengatasi masalah
tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori
yang mendasari terapi aktivitas tersebut.
f.
Program antisipasi
masalah
Merupakan
intervensi psikologis yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat
darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok.
Dari
rangkaian tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai
fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer penyembuhan
dan perubahan.
4.
Teknik
Terapi Kelompok
Ada beberapa bentuk khusus terapi kelompok,
antara lain :
a.
Psikodrama
Psikodrama merupakan suatu bentuk
terapi kelompok, yang dikembangkan oleh J.L. Moreno pada tahun 1946, dimana
pasien didorong untuk memainkan suatu peran emosional di depan para penonton
tanpa dia sendiri dilatih sebelumnya. Tujuan dari psikodrama ini adalah
membantu seorang pasien atau kelompok pasien untuk mengatasi masalah-masalah
pribadi dengan menggunakan permainan drama, peran, atau terapi tindakan. Lewat
cara-cara ini pasien dibantu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan tentang
konflik, kemarahan, agresi, perasaan bersalah, dan kesedihan. Sama dengan
Freud, Moreno melihat emosi-emosi yang terpendam dapat dibongkar
(kompleks-kompleks emosional dihilangkan dengan membawanya ke kesadaran, dan
membuat energi emosional diungkapkan/katarsis).
Metode psikodrama yang sangat
Penting. Seperti yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Moreno, psikodrama
menggunakan tempat yang menyerupai panggung. Hal ini bertujuan supaya pasien
memainkan peran di alam khayal, dengan demikian ia merasa bebas mengungkapkan
sikap-sikap yang terpendam dan motivasi-motivasi yang kuat. Ketika peran
dimainkan, implikasi-implikasi realistic dan tingkah lakunya yang dramatis
menjadi jelas. Keterampilan terampis dalam mengenal dan menafsirkan dinamika yang
diungkapkan memudahkan proses terapi. Ada tiga tahap yang penting dalam
psikodrama:
1) Tahap
pelaksanaan, dimana subjek memerankan khayalan-khayalannya.
2) Tahap
penggantian, dimana orang-orang yang sebenarnya menggantikan orang-orang yang
dikhayalkan subjek.
3) Tahap
penjernihan, dimana diadakan pengalihan dari kontak individu-individu pengganti
ke kontak dengan individu-individu di mana subjek memiliki kesempatan
menyesuaikan diri dengan mereka dalam kehidupan yang nyata.
Sebaliknya,
Whittaker memberikan suatu gambaran singkat tentang bagaimana sebaiknya
psikodrama itu dilaksanakan. Dia mengemukakan bahwa psikodrama menggunakan 4
instrument utama, yaitu:
1) Panggung,
yang merupakan ruang kehidupan psikologis dan fisik bagi subjek atau pasien.
2) Sutradara
atau pekerja.
3) Staf
dari ego-ego penolong (auxiliary ego)
atau penolong-penolong teraupetik.
4) Para
penonton.
Ego-ego
penolong maupun para penonton terdiri dari anggota-anggota kelompok lain.
Strateginya adalah memberi kemungkinan kepada subjek untuk memproyeksikan
dirinya kedalam dunianya sendiri dan membangkitkan respon-respon dari
kawan-kawan anggota kelompoknya sendiri. Selanjutnya, Whittaker mengemukakan 4
teknik yang bisa digunakan, yaitu:
1) Presentasi
diri. Pasien mempresentasikan dirinya sendiri atau seorang figur yang penting
dalam kehidupannya.
2) Memimpin
percakapan sendiri. Pasien melangkah keluar dari drama dan berbicara pada
dirinya sendiri dan kepada kelompoknya.
3) Teknik
ganda. Seorangg ego penolong berperan bersama dengan pasien dan melakukan
segala sesuatu yang dilakukan pasien pada waktu yang sama.
4) Teknik
cermin. Seorang ego penolong berperan sejelas mungkin menggantikan pasien. Dari
para penonton, pasien memperhatikan bagaimana dia melihat dirinya sendiri
sebagaimana orang-orang lain melihatnya.
Sutradara atau pekerja berfungi
baik sebagai produser maupun sebagai terapis. Sebagai produser, ia memilih dan
mengatur adegan-adegan yang juga memimpin tindakan (perbuatan) psikodramatis.
Adegan-adegan dipilih berdasarkan situasi-situasi yang mengandung muatan emosional
bagi pasien atau berdasarkan situasi-situasi dimana pasien bertingkahlaku tidak
tepat atau tidak efektif dalam situasi-situasi seperti itu. Sebagai terapi,
pekerja (sutradara) memberikan dukungan atau klarifikasi kepada para actor, dan
kadang-kadang memberikan penafsiran (sering dengan bantuan para anggota kelompok
lain) tentang adegan permainan itu.
Belakangan ini psikodrama dilakukan
oleh orang-orang yang mempraktekkan bermacam-macam teori psikoterapi.
Khususnya, para terapis Gestalt menggunakan psikodrama secara luas. Psikodrama
juga digunakan dalam terapi perkawinan, dalam terapi anak-anak,
penyalahgunana-penyalahgunaan obat bius dan alcohol, orang-orang yang mengalami
masalah-masalah emosional, di lingkungan penjara, untuk melatih para psikiater
dirumah sakit, untuk melatih orang-orang yang cacat, di perusahaan dan industri,
dan dalam pendidikan serta dalam mengambil keputusan.
Kegunaan psikodrama adalah dengan
mendramatisir konflik-konflik batinnya, pasien dapat merasa sedikit lega dan
dapat mengembangkan pemahaman (insight)
baru yang memberinya kesanggupan untuk mengubah perannya dalam kehidupan yang
nyata.
b.
Role
playing (bermain peran)
Memainkan
peran adalah suatu variasi dari psikodrama yang tidak menggunakan alat-alat
sandiwara (drama). Taknik ini banyak digunakan untuk mendorong pasien berbicara
dan mengembangkan persepsi-persepsi baru dalam berbagai situasi kelompok,
misalnya diruang kelas, program-program hubungan manusia dalam bidang usaha dan
industri, dan pertemuan-pertemuan latihan (training)
c.
Encounter
groups
Encounter groups
adalah bentuk-bentuk khusus dari terapi kelompok yang muncul dari gerakan
humanistik pada tahun 1960-an. Encounter
groups bertujuan untuk membantu mengembangkan kesadaran diri dengan
berfokus pada bagaimana para anggota kelompok berhubungan satu sama lainalam
suatu situasi diaman di dorong untuk mengungkapkan perasaan secara terus
terang. Encounter groups tidak
berlaku bagi orang yang mengalami masalah-masalah psikologis yang berat, tetapi
hanya ditujukan kepada orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, berusaha
memajukan pertumbuhan pribadi, meningkatkan kesadaran mengenai kebutuhan-kebutuhan
dan perasaan-perasaan mereka sendiri serta cara-cara mereka berhubungan dengan
orang lain.
Encounter groups
berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini melalui pertemuan-pertemuan yang
intensif atau konfrontasi-konfrontasi langsung dengan orang-orang baru.
Beberapa kelompok dibentuk sebagai kelompok-kelompok marathon yang mungkin
berlangsung terus-menerus selama 12 jam atau lebih. Karena bertolak dari
pendekatan humanistik, encounter groups,
menekankan interaksi-interaksi yang terjadi ditempat ini dan kini.
Fokus
dari encounter groups adalah
mengungkapkan perasaan-perasaan yang asli dan bukan menafsirkan atau
membicarakan masa lampau. Apabila seorang anggota kelompok dipersepsikan oleh
orang lain bersembunyi di belakang kedok atau topeng sosial, maka orang lain
berusaha sedemikian rupa supaya orang tersebut membuka kedok itu, dan dengan
demikian mendorong orang itu untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang
sebenarnya.
Teknik
konfrontasi ini dapat merusak bila para anggota kelompok memaksa mengungkapkan
dengan terlalu cepat perasaan-perasaan pribadi orang itu yang belum mampu
ditanganinya atau bila orang itu merasa diserang atau dikambinghitamkan oleh
orang lain dalam kelompok. Para pemimpin kelompok yang bertanggungjawab tetap
berusaha mengendalikan kelompok itu untuk mencegah penyalahgunaan tersebut dan
mempertahankan kelompok itu bergerak kearah yang memudahkan pertumbuhan pribadi
dan kesadaran diri.
KESIMPULAN
Makalah
ini membahas mengenai dua jenis terapi psikologis, yaitu terapi perilaku dan
terapi kelompok. Terapi yang
pertama adalah terapi perilaku (behavioral
therapy). Terapi perilaku adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari
oleh teori belajar yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias,
dengan memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan
dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Terapi perilaku pertama kali
ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden
Lindsley, dan Harry C. Salomo.
Menurut Latipun (2001) tujuan terapi perilaku
adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku somatik, yaitu kegidupan
tanpa mengalami kesulitan atau ha,batan perilaku yang dapat membuat
ketidakpuasan dalam hangka panjang, atau mengalami konflik dengan lingkungan
sosial.
Selanjutnya, peran
terapis dalam terapi perilaku adalah memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, terlibat dalam pemberian
penguatan-penguatan sosial penguat bagi tingkah laku klien, dan model bagi
klien.
Terdapat beberapa
teknik terapi perilaku yang biasa dilakukan dalam terapi perilaku antara lain, operant conditioning, desensitisasi,
flooding, implosive therapy, participant
modeling (percontohan), teknik aversi, teknik relaksasi dan desentisisasi
sistematis, self-control, eye movement desensitisasi and reprocessing (EMDR), dan terapi
kognitif-behavioral (TKB).
Terapi
yang kedua adalah terapi kelompok (group
therapy). Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara
satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang
sama. Kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya membantu
individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang lain,
mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah perilaku
destruktif menjadi konstruktif.
Secara
umum tujuan terapi kelompok antara lain, setiap anggota
kelompok dapat bertukar pengalaman, memberikan pengalaman dan penjelasan pada
anggota lain, dan merupakan proses menerima umpan balik.
Ketika melakukan terapi ini, peran
terapis dalam pelaksanaan terapi kelompok adalah mempersiapkan program terapi,
sebagai leader dan co-leader, sebagai fasilitator, sebagai observer, mengatasi
masalah yang timbul saat terapi, dan program antisipasi masalah. Dari rangkaian
tugas yang disebutkan, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai fasilitator.
Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer penyembuhan dan
perubahan. Kemudian ada beberapa bentuk khusus terapi kelompok antara lain,
psikodrama, role playing (bermain
peran), dan encounter groups.
Dengan adanya terapi-terapi tersebut, diharapkan klien dapat keluar dari
masalah atau gangguan yang dideritanya, serta dapat meningkatkan kualitas
hidupnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, A. (2015).
Makalah terapi behavior. Diperoleh
dari: http://ilmuhackers.blogspot.co.id/2015/04/makalah-terapi-behavior.html
(diakses pada 24 April 2016)
Corey, G. (2009). Konseling
dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Henrikus. (2011. Psikoterapi
terapi perilaku (behaviour therapy). Diperoleh dari: https://id-id.facebook.com/notes/henrikus-yo/psikoterapi-terapi-perilaku-behaviour-therapy/10150208701516934/
(diakses pada tanggal 24 Maret 2016)
Jena, SPK. 2008.
Behaviour therapy techniques, research,
and aplications. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.
Latipun. (2001). Psikologi konseling. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Purwaningsih,
W., & Karlina I. (2010). Asuhan
keperawatan jiwa. Jogjakarta: Nuha Medika.
Rasyid, J. (2011).
Psikologi klinis. Diperoleh dari: http://julyarasyid.blogspot.co.id/2011/04/psikologi
klinis.html (diakses pada tanggal 24 April 2016)
Sari, L. T.
(2015). Terapi kelompok terhadap
perubahan sikap perlindungan diri dari IMS dana perilaku seksual pekerja seks
komersial jalanan usia 15-18 tahun di Denpasar Bali. Tesis. (diakses pada
tanggal 25 April 2016)
Umar, F. (2014).
Behavioral konseling. Diperoleh dari:
http://konselingkedamaianhati.blogspot.co.id/2014/12/behavioral konseling_17.html
(diakses pada tanggal 24 April 2016)
Yosep, I.
(2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.